Bolehkah Guru Marah??
“Dan
sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Lukman: 19).
Pengalaman di dalam kelas, Suatu hari sang guru
bertanya kepada siswa-siswanya. "Mengapa ketika seseorang sedang dalam
keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"Seorang
siswa setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab : "Karena
saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu
berteriak."Sang guru balik bertanya : "Tapi... lawan bicaranya justru
berada disampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara
secara halus?"Hampir semua siswa memberikan sejumlah alasan yang dikira
benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan.
Sang guru lalu berkata :Ketika kedua orang sedang berada dalam situasi
kemarahan, jarak antara kedua hati mereka menjadi amat jauh walaupun secara
fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian,
mereka harus berteriak.""Namun anehnya, semakin keras mereka
berteriak, semakin membuat mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak
hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka
terpaksa berteriak lebih keras lagi."Terlihat wajah para siswa mulai
serius memperhatikan, lalu sang guru masih melanjutkan : "Sebaliknya apa
yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak
berteriak namun ketika mereka berbicara, suara yang keluar dari mulut mereka
begitu halus dan kecil pelan. Bahkan sehalus apapun, keduanya bisa
mendengarkannya dengan jelas." "Mengapa demikian?" Sang guru bertanya
sambil memperhatikan para siswanya. Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak
satupun berani memberikan jawaban. "Karena hati mereka begitu dekat, hati
mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah
pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka
sampaikan."
Kenapa
mesti berteriak?
Jika sebuah proses pendidikan
diartikan sebagai transformasi (pengalihan)
knowledge pengetahuan, value nilai, dan behaviorkarakter,
tentunya kita sudah berada di jalur yang salah. Kita sering berteriak ketika
memanggil siswa, ketika berteriak dan marah marah ketika siswa siswa kita
melakukan kesalahan kecil, misalnya saja siswa terlambat datang, padahal kita
tidak mau tau kenapa dia terlambat? Bahkan yang lebih naifnya guru juga sering
menggunakan bahasa tidak santun ketika berkomunikasi, pernah juga mendengar dan
menyaksikan langsung teman guru yang tega-teganya memaki mengeluarkan kalimat menyebutkan
nama “generic” dari kemaluannya. Marah,
Khilaf itu alasan yang sering kita lontarkan? Bukankah seorang guru ketika
belajar di kampusnya sudah dijejali dengan ilmu-ilmu paedagogik, psikologi,
budaya dasar,dan lain-lainya, yang kesemua itu menjadi modal untuk menghadapi
siswa yang berbeda culture. Manusiawi
memang kalau guru itu marah, tapi marah nya seorang guru beda dengan marahnya
seorang preman, marah boleh saja tapi
harus tidak lepas kontrol, guru adalah orang dewasa yang sudah ditempa untuk
mendidik sehingga tidak pantas seorang guru lepas dari etika akademis.
Salah satu dari empat kompetensi (ability) yang harus dimiliki seorang guru professional adalah kompetensi
kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang
mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta
didik, dan berakhlak mulia. Secara rinci subkompetensi tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut: Kepribadian yang mantap dan stabil
memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma hukum; bertindak
sesuai dengan norma sosial; bangga sebagai guru; dan memiliki konsistensi dalam
bertindak sesuai dengan norma. Kepribadian Yang Dewasa memiliki
indikator esensial: menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik
dan memiliki etos kerja sebagai guru. Kepribadian Yang Arif memiliki
indikator esensial: menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan
peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam
berpikir dan bertindak. Kepribadian Yang Berwibawa memiliki
indikator esensial: memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta
didik dan memiliki perilaku yang disegani. Akhlak Mulia Dan Dapat Menjadi Teladan
memiliki indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma religius (iman dan
taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani
peserta didik.
Jadi alangkah sedihnya guru yang
mengaku professional dan sudah memiliki tunjangan penghasilan melebihi guru
biasa, akan tetapi tidak memiliki kompetensi kepribadian sesuai standard guru professional.
Jadi untuk apa pemerintah membayar tunjangan profesi itu.??
Komentar