KETIKA GURU BERTERIAK
artikel ini diterbitkan di Harian Waspada 16 September 2013
“
Masih adakah guru tersisa dan berapa guru yang masih kita miliki?”
seperti itu mungkin pertanyaan dari seorang Kaisar Hirohito (1945) kepada para
punggawanya ketika melihat Kota Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak akibat bom
atom yang dijatuhkan Amerika dan sekutunya. Kekalahan dalam perang dunia II
memporak-porandakan Jepang. Banyak petinggi negara yang melakukan hara-kiri,
bunuh diri. Mereka malu akan kekalahan yang sangat memalukan bagi mereka.
Pemerintah Jepang harus melakukan inventarisasi terhadap aset dan sumber daya
yang mereka miliki. Pemikiran seorang pemimpin yang bernas dan brilian,
demikianlah cara berpikir seorang negarawan. Kekurangan sumberdaya manusia
hanya bisa dipenuhi oleh para guru. Dan
dalam perjalanan sejarah Jepang, pertanyaan pundamental seorang Kaisar Hirohito tersebut menjadi awal
kebangkitan ekonomi, militer dan pendidikan di negeri sakura tersebut. Lain
lubuk lain pula ikannya, lain di Jepang lain pula di Sumatera Utara. Seperti
episode dalam sinetron di Tanjungbalai beberapa sebulan yang lalu seratusan
guru SD mengeluh karena gaji ke-13 nya dipotong untuk kegiatan bedah rumah dengan dalih infaq yang diprakarsai oleh
KORPRI setempat, di Madina beberapa hari yang lalu (9/9) ribuan guru demo di
kantor Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) dan DPRD Madina di
kompleks perkantoran Payaloting Panyabungan dan keesokan harinya di Medan (10/9)
ratusan guru juga berdemonstrasi di Kantor Walikota Medan juga karena hak-hak konstitusionalnya yang
belum dibayarkan.
Guru Juga Manusia
Ternyata tuntutan pemerintah agar menjadi
guru yang professionalisme tidak
diiringi dengan perbaikan sistem yang professional juga, terlebih persoalan
pencairan dana sertifikasi guru yang setiap tahun tetap mengalami
keterlambatan. Jika bercermin pada tiga persoalan yang mendera guru di sumatera
utara ini tentunya pemerintah harus bertanya kenapa guru resah ketika
hak-haknya di potong? Atau kenapa
guru rela berdemonstrasi ketika hak-haknya belum dibayarkan? Jawabannya
sederhana “ guru juga manusia”. Guru juga memiliki kewajiban dalam menjalankan
profesinya dan juga memiliki kebutuhan dalam menjalankan hidupnya sebagai
seorang guru.
Amanat UU No.14/ 2005 Pasal 39
sangat jelas kewajiban dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk
melindungi tugas ke profesionalan guru. Ketika guru dituntut untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya disisi lain pemerintah juga lalai dalam menjalankan
kewajibannya dalam memenuhi hak-hak guru.
Dikaitkan dengan Teori Sistem yang
dikemukakan Jerry Fitz Gerald
mendefinisikan “ sistem adalah suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang
saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan atau
untuk menyelesaikan suatu sasaran yang tertentu ”. Dalam Sistem Pendidikan
Nasional, guru merupakan salah satu bagian dari sub sistem yang ada (component systems) yang mempengaruhi
hasil (out put) dari tujuan
pendidikan nasional. Jika guru yang merupakan bagian subsistem pendidikan
nasional tersebut dibiarkan larut dalam “penderitaan” nya hasil akhirnya akan
berdampak negative terhadap tujuan pendidikan.
Menanti Peran Organisasi Profesi Guru
Terkait
dengan tiga kasus diatas, hamper tidak kedengaran backup organisasi profesi guru terhadap persoalan tersebut. Jika
ada hanya organisasi bumper yang
sifatnya dadakan seperti forum-forum guru sebagai bendera guru dalam
memperjuangkan hak-haknya. Idealnya sama dengan organisasi profesi –profesi
yang lainnya, organisasi guru yang ada
harus mampu menyusun menetapkan dan menegakkan kode etik guru; memberikan
bantuan hukum kepada guru; memberikan perlindungan profesi guru; melakukan
pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan memajukan pendidikan nasional. Perubahan zaman berujung terjadinya perubahan paradigma
pendidikan nasional menempatkan guru sebagai “makhluk” yang dituntut professional, dan ke-profesionalan guru harus
didukung dengan organisasi profesi yang professional juga. Modernisasi
organisasi profesi guru adalah hal yang mutlak harus dilakuan.
Organisasi modern saat ini, tidak lagi
mengutamakan segi kuantitas anggota belaka, namun lebih fokus terhadap kualitas
massanya. Lebih utama lagi jika yang dimaksud merupakan organisasi profesi.
Organisasi profesi harus mampu menjadi dan dijadikan wadah pengembangan
anggota. Kesadaran anggota terhadap pentingnya organisasi profesi tersebut,
menuntunnya masuk dan mengembangkan diri di dalam organisasi tersebut. Namun,
jika yang terjadi sebaliknya, anggota organisasi tidak atau kurang merasakan
ada manfaatnya masuk menjadi anggota organisasi tersebut, maka tinggal menunggu
waktu organisasi tersebut akan ditinggalkan (withdrawal behavior). Ditinggalkan, tidak hanya berarti tersurat,
namun jika organisasi terlihat “melempem” tidak mampu menghadirkan aktifitas
organisasi yang bermakna, tidak mampu menggali dan menemukan momentum yang
berharga bagi komunitas profesi, serta selalu ketinggalan dalam aksinya, maka
itu ciri organisasi yang tidak mempesona dan kehilangan ruh wajar saja
ditinggalkan oleh anggotanya, meskipun pada kenyataannya tidak ada satu orang
anggota pun yang nyata mengundurkan diri secara tertulis.
Tentunya keberadaan guru sebagai profesi wajib
mempunyai pula organisasi profesi. Hal ini juga ditegaskan dalam UU Guru dan
Dosen. Seperti organisasi profesi lainnya, organisasi guru juga tentu bertujuan
meningkatkan harkat, martabat, kesejahteraan, dan nilai dari guru sebagai
anggotanya. Bagaimana guru menjadi profesi yang disegani dan tak mudah menjadi
“objek eksploitasi” baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Organisasi guru
harus mampu menjadi tempat mengadu dan meminta perlidungan jika merasa kegiatan
profesinya terkendala.
Organisasi
guru juga harus mengembangkan kualitas diri dan wawasan guru dengan cara-cara
yang professional. Organisasi guru harus menghindari pemanfaatan organisasi
untuk hal-hal yang berhubungan dengan politik dan “nilai-nilai pendekatan” yang
tidak professional. Banyaknya tanggungjawab dan “pekerjaan” organisasi guru
tentu mengharapkan para pengurusnya tidak sekedar “tampang nama dan Jabatan”
saja, tapi harus punya kepekaan dalam menyadari tuntunan anggotanya. Banyaknya
permasalahan yang dihadapi guru saat ini, baik langsung maupun tidak langsung
membuktikan pada organisasi guru bahwa tak ada waktu untuk vakum atau
“tenang-tenang saja”.
Seringnya
guru menghadapi kendala dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab profesinya
harus menjadi perhatian dari organisasinya. Tak bisa dibiarkan guru tak leluasa
(ketakutan) dalam mendidik atau mengajar di dalam kelasnya sendiri. Lebih gawat
lagi jika guru telah meninggalkan jiwa profesionalismenya karena merasa tak
dihargai.
Kembali
kepada persoalan keterlambataan pembayaran tunjangan profesi guru, peran
organisasi profesi guru yang besar dan terdepan sesuai dengan amanat
Undang-Undang No.14/2005 yang ikut serta dalam melindungi profesi guru. Sudah
sewajarnya organisasi profesi guru yang ada di Sumatera Utara ini menjadi leader membawa persoalan ini ke jalur
hukum, untuk memberikan solusi dalam mengurai benang kusut pencairan dana
sertifikasi guru.
Dan
tidak mungkin pula beban guru ditambah dengan urusan demontrasi, padahal beban
mereka sudah dua puluh empat jam untuk memikirkan pendidikan ini. Keterwakilan
guru didalam organisasi profesi harus dibuktikan, jika tidak claim organisasi guru lebih berpihak
kepada penguasa dari pada kepada anggotanya akan semakin terbukti.
Penutup
Persoalan
demonstari guru jangan dianggap enteng, jika dibiarkan gerakan tersebut akan
menjadi gerakan yang massif terlebih isu
yang diperjuangkan adalah menyangkut hak-hak konstitusional seorang guru,
pemerintah harus bijak dan arif dalam menyelesaikan persoalan ini. Menjelang
tahun politik 2014, nasib guru bisa saja menjadi persoalan dan komoditas
politik, dan jika persoalan ini sudah dipolitisasi maka jangan salahkan lagi
guru. Karena sesungguhnya guru tidak berpolitik. Wallahu’alamu
Tanjungbalai, 13 September 2013
Wassalam
Penulis
Tuah Manurung
Komentar