UNTUK GURU : SUDAH PROFESIONALKAH KITA?
Pendahuluan
Permasalahan belajar sebenarnya memiliki
kandungan substansi yang “misterius’. Berbagai macam teori belajar telah
ditawarkan para pakar pendidikan dengan belahar dapat ditempuh secara efektif
dan efisien, dengan implikasi waktu cepat dan hasilnya banyak. Namun, sampai
saat ini belum ada satupun teori yang dapat menawarkan strategi belajar secara
tuntas. Masih banyak persoalan-persoalan belajar yang belum tersentuh oleh
teori-teori tersebut.
Kompleksitas persoalan yang terkait
dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menuntaskan strategi
belajar. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang
bersifat internal maupun yang eksternal. Diantara sekian banyak faktor
eksternal terdapat guru yang sangat berpengaruh terhadap siswa. Sukses tidaknya
para siswa dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru.
Ketika berada di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua,
tetapi di sekolah tanggung jawab itu diambil oleh guru. Sementara itu,
masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak mengalami
perubahan-perubahan positif-konstruktif akibat mereka berinteraksi dengan guru.
Harapan ini menjadi suatu yang niscaya terutama ketika dikaitkan dengan
mutu pendidikan. Pembahasan mutu pendidikan betapapun akan terfokuskan pada
input- proses-output. Input terkait dengan masyarakat sebagai
“pemasok”sedangkan outuput terakait dengan masyarakat sebagai pengguna. Adapun
proses terkait dengan guru sebagai pembimbing. Dataran proses inilah yang
paling determinan dalam mewujudkan sitasi pembelajaran di sekolah baik yang
membelenggu, atau sebaliknya membebaskan, membangkitkan dan menyadarkan.
Proses Pembelajaran yang Membelenggu
Ada ungkapan yang menarik dari
Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan
yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu.
Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai
pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan
sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya,s
ebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa penddikan bisa
juga “berbahaya”bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai
individu.
Dalam kaitannya dengan fungsi
negatif yakni pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari
model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita adakan
evaluasi, di kalanga kita sendiri memam\ng terdapat gejala-gejala perilaku guru
dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis
siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membaayakan masa depan siswa seperti
sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah.
Dalam suatu kelas tidak jarang guru
melempar suatu pertanyaan yang harus dijawab siswa. Ada seorang siswa yang
berani menjawab pertanyaan dengan penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati
guru. Apa yang terjadi justru di luar dugaan dengan jawaban itu teman-temannya
di sekitar tertawa sedang guru mengatakan, “tidak, itu salah. Saya heran
melihatmu”. Kasus ini menurut Bobbi Deporter and Mike Hernacki, adalah awal
terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu belajar menjadi tugas sangat
berat. Keraguan tumbuh dalam dirinya, dan dia mulai menguragi resiko sedikit
demi sedikit3. Sebab dia merasa malu dan dipermalukan dihadapan banyak anak.
Kesan negatif ini terus membayangi dalam perkembangan lantaran komentar itu.
Komentar negatif selama ini
seringkali diterima anak bukan saja di
sekolah,melainka juga di rumah atau di lingkungan masyarakat. Pada 1982,
seorang pakar masalah kepercayaan diri, Jack canfield melaporkan bahwa hasil
penelitian dalam sehari setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif
atau kritik dan hanya 75 komentar positif yang bersifat mendukung.
Jadi,komentar negatif enam kali lebi banyak dari pada komentar positif4.
Suasana seperti ini berbahaya bagi masa depan anak, mereka bisa merasa tegang
dan terbebani ketika misalnay disuruh belajar. Dinding-dinding kelas dirasakan
sebagai dinding-dinding tempat penjara.
Model pembelajaran berikutnya yang dapat membelenggu dan menindas siswa
adalah sebagaimana yang Paulo Freire disebut sebagai pendidikan ”gaya bank”.
Model ini menurut pengamatan Freire, menjadi sebuah kegiatan menabung: para
murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai penbungnya.. Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan
murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.6 Semakin
banyak murid yang meyimpan tabungan,
semakin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya.7
Sesungguhnya, belajar itu merupakan
pekerjaan yang cukup berat, yang menuntut skap kritis sistemik (Sistemic Critical
Attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktek
langsung. Sikap kritis sama sekali tidak dapat dihasilkan melalui pendidikan
yang bergaya bank(banking action) ini. Dalam pendidikan model ini, yang
dibutuhkan buka pemahaman isi, tetapi sekedar hafal(memorization). Bukan
memahami teks, tetapi hanya menghafal dan jika siswa siswa melakukannya berarti
siswa telah memenuhi kewajibannya.9 Padahal hafalan hanya akan menumpuk
pengetahuan dalam arti pasif, karena tanpa upaya pengembangan sama sekali
sebagai yang menjadi karakternya selama ini.
Selanjutnya pembelajaran model bank
ini telah menempatkan guru dan siswa dalam posisi berhadap-hadapan. Guru
sebagai subyek dan siswa sebagai obyek, guru yang “menakdirkan” sedangkan siswa
yang “ditakdirkan”, guru sebagai peran dan siwa sebagai yang diperankan. Secara
ekstrim bahkan dapat dikatakan guru sebagai penindas sedang siswa sebagai
tertindas. Freire setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai
berikut:
-
guru
mengajar, murid diajar
-
guru
mengethui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
-
guru
berfikir, murid dipikirkan
-
guru
bercerita, murid patuh mendengarkan
-
guru
menentukan peraturan, murid diatur
-
guru
memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya
-
guru
berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
-
guru
memiliki bahan dan isi pelajaran, murid (tanoa diminta pendapatnya)
menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
-
guru
mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang
ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid
-
guru
adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka
Pengajaran
model demikian ini memposisiskan guru sebagai pihak yang ”menang”sedangkan
siswa sebagai pihak yang “kalah”, suatu dikootomi yang mestinya tidak layak
terjadi mengingat pengajaran bukan proses perbandingan sehingga ada yang menag
dan ada yang kalah. Dengan istilah lain pengajar ini terkadang disebut
pengajaran model komando. Seorang komandan dalam militer posisinya selalu
diatas, memegang perintah yang harus ditaati.
Pengajaran
model gaya komando ini memerankan guru, yang oleh S. Nasution disebut guru yang
bertipe dominatif sebagai lawan dari tipe integrative.11 Pengajaran tersebut
mendapat kritik keras karena mematikan semangat demokratisasi dan kreativitas
siswa, tidak menghargai siswa dan keagamaannya.12 Guru merasa memiliki wewenang
apa saja yang berkaitan dengan pembelajaran dan tidak boleh diganggu gugat oleh
siswa maupun pihak lain, praktis, pengajaran model tersebut hanya menjadikan
guru pandai sepihak sedangkan siswa tetap bodoh, pasif, kering ide atau
gagasan, stagnan, tertindas dan terbelenggu.
Upaya
pembelajaran yang ternyata berbalik membelenggu ini tidak lepas begiitu saja-karena
akibat demikian tidak pernah disadari guru dominatif tersebut-selagi belum ada
gugatan secara maksimal untuk mewujudkan pembelajaran yang benar-benar
demokratis sebagai kebutuhan pendidikan secara mendesak.
Pembelajaran
Demokratis
Sebagai upaya untuk keluar dari
pembelajaran yang membelenggu tersebut menuju pada pembelajaran yang
membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada dari guru untuk
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa guna mengekspresikan gagasan
dan pikirannya Freirw mengatakan,” pendekatan yang membebaskan merupakan proses
dimana pendidikan mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan
kehidupan yang senyata secara kritis.” Dalam pendidikan yang membebaskan ini
tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yan dibebaskan karena tidak ada
dikotomi antara subjek dan objek. Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek
sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi).
Hanya saja jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar
junior,jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah
seihingga guru tetap lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi
kepada guru. Tetapi pemberian guru kepada siswa itu sifatnya dorongan,
rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi sendiri, bukan sebagai
stimulus.
Aliran ini sesungguhnya telah
berpandangan progresif. Peran siswa telah dimaksimalkan jauh melebihi
peran-peran tradisionalnya dalam himpitan pengajaran model gaya komando. Upaya
memaksimalkan peran siswa ini sebagai bentuk riil dari misi pembebasan siswa
dari keterbelengguan akibat penindasan guru. Melalui pembebasan ini, diharapkan
siswa memiliki kemandirian yang tinggi dalam memberdyakan potersi yang dimiliki
untuk berpendapat, bersikap dan berkreasi sendiri.
Oleh karena itu, mesti ada dialog. “ciri
aksi budaya yang meperjuangkan kebebasan adalah dialog, sedangkan yang mengarah
pada dominasi justru anti dialog dan mendomistifikasikan rakyat.”16 tangung
jawab guru yang menempatkan diri teman dialog bagi siswa lebih besar dari pada
guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat siswa.17 Sebab guru
sedang memupuk sikap keberanian, sikap kritis ,dan sikap toleran terhadap
pandangan yang berbeda bahkan bertentangan sekalipun, melalui tradisi saling
tukar pandangan dalam menyiapkan suatu masalah.
Tradisi dialogis ini sebagai salah satu
bentuk suasana yang mendukung pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang
melibatkan para siswa dalam proses pembelajaran secara maksimal dengan
memperhatikan sepenuhnya terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide,
kreativitas, dan karya siswa. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk
menjadi subjek dalam proses pembelajaran.
Mengingat pentingnya dialog ini, maka
pemerintah mengamanatkan melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang
ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pendidik dan tenaga
kependidikan. Amanat itu terdapat pada pasal 40 ayat 2. Isi dari pasal tersebut
adalah:
Pendidikan dan tenaga kependidikan
berkewajiban:
menciptakan
suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis.
Mempunyai
komitemen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan
Memberikan
teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan
keprcayaan yang diberikan kepadanya.18
Seiring
dengan demokrasi politik. Ada tuntutan demokrasi pendidikan dalam prakteknya
berimplikasi pada demokrasi pembelajaran dengan indikasi menciptakan suasana dialogis.
Dengan demikian, peranan guru dalam penyampaian pengetahuan menjadi sangat
berkurang yang digantikan oleh peranan siswa yang semakin menguat. Tuntutan
dialog belakangan ini sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan
pendidikan demokratis, sekaligus membuktikkan adanya pergeseran posisi siswa
dari posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan.
Demikian
pula, pergantian istilah anak didik, terdidik maupun objek didik menjadi
peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya persoalan semantic, melainkan
perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran
pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan emansipatoris, dengan
memerankan siswa agar lebih produktif,progresif dan pro-aktif dibandingkan peran
masa lampaunya. Bagaimana istilah peserta didik apalagi pembelajar akan selalu
mengesankan kondisi aktif pada istilah anak didik, terdidik maupun objek didik.
Oleh
karena itu, belakangan ini pengertian perencananaan untuk memberi peluang pada
siswa-siswanya mengembangkan aktivitas belajar, serta mengeksplorasi berbagai
pengalaman baru untuk mencapai berbagai kompetensi yang diidealkannya, dan
telah menjadi kesepakatan-kesepakatan kelas bersama dengan gurunya. Guru
tidak banyak mencampuri mengatur dan menegur pekerjaan anak, akan tetapi
membiarkan bekerja menurut kemampuan dan cara masing-masing sikap in cocok
dengan kuirkulum ‘student centered”.
Selanjutnya
perkembangan paling menarik terjadi sejak 25 tahun terakhir bahwa guru-guru di
berbagai sekolah di Amerika melakukan transaksi kurikulum dengan para siswanya.
Guru menawarkan berbagai kompetendi pada siswanya, sedang siswa memilih serta
menentukan sendiri apa yang mereka pelajari dengan gurunya itu. Implikasi
adalah terjadi kajian dari sesama siswa untuk menentukan berbagai bahan materi
pelajaran yang akanmereka pelajari dalam masa tertentu. Inilah yang disebut
sebagai curriculum as transaction and curriculum as inquiry.
Kasus
ini benar-benar menggambarkan pembelajaran demokratis lantaran melibatkan siswa
dalam menentukan sendiri kompetensi maupun bahan pelajaran sesuai dengan selera
dan kebutuhan mereka sendiri tanpa paksaan maupun intervensi guru.keterlibatan
siswaseperti ini makin mendesak untuk direalisasikan, sehingga dibutuhkan guru
yang benar-benar professional.
Profesionalisme
Guru
Profesionalisme menjadi taruhan
ketika mengahadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran demokratis karena tuntutan
tersebut merefleksikan suatu kebutuhan yang semakin kompleks yang berasal dari
siswa; tidak sekedar kemampua guru mengauasi pelajaran semata tetapi juga
kemampua lainnya yang bersifat psikis, strategis dan produktif. Tuntutan
demikian ini hanya bisa dijawab oleh guru yang professional
Oleh karena itu, Sudarwan Danim
menegasakan bahwa tuntutan kehadiran guru yang profesional tidak pernah surut,
karena dalam latar proses kemanusiaan dan pemanusiaan,ia hadir sebagai subjek
paling diandalkan, yang sering kali disebu sebagai Oemar bakri.
Istilah professional berasal dari profession,
yang mengandung arti sama dengan occupation atau pekerjaan yang memerlukan
keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus..23 ada beberapa
pengertian yang berkaitan dengan professionalisme yaitu okupasi, profesi dan
amatif. Terkadang membedakan antar para professional, amatir dan delitan.24
Maka para professional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah
memperoelh pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk pekerjaan itu.
Kemudian bagaimanakah hubungan profesional
dengan kompetensi? M. Arifin menegaskan bahwa kompetensi itu bercirikan tiga
kemampua profesional yang kepribadian guru, penguasa ilmu dan bahan pelajaran,
dan ketrampilan mengajar yang disebut the teaching triad.26 Ini berarti antara profesi dan kompetensi
memilki hubungan yang erat: profesi tanpa kompetensi akan kehilangan makna,
dankopetensi tanpa profesi akan kehilanga guna.27
Untuk memahami profesi, kita harus
mengenali melaui Ciri-cirnya. Adapun ciri-ciri dari suatu profesi adalah:
-
memiliki suatu keahlian khusus
-
merupakan suatu penggilan hidup
-
memiliki teori-teori yang baku secara universal
-
mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri
-
dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif
-
memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya
-
mempunyai kode etik
-
mempunyai klien yang jelas
-
mempunyai organisasi profesin yang kuat
-
mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang alin.28
Ciri-ciri
tersebut masih general, karena belum dikaitkan dengan bidang keahlian tertentu.
Bagi profesi guru berarti ciri-ciri itu lebih spesifik lagi dalam kaitannya
dengan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran baik di dalam maupun di luar
kelas.
Mengenai
kompetensi, di Indonesia telah ditetapkan sepuluh kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu: (1) memiliki
kepribadian ideal sebagai guru; (2) penguasaan landasan pendidikan;
(3)menguasai bahan pengajaran; (4)kemampuan menyusun program pengajaran; (6)
kemampuan menilai hasil dan proses belajar mengajar; (7)kemampuan
menyelenggarakan program bimbingan; (8) kemampuan menyelenggarakan administrasi
sekolah; (9) kemampuan bekerja sama dengan teman sejawat dan masyarakat; dan
(10) kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan
pengajaran.29
Dengan
begitu, tugas guru menjadi lebih luas lagi dari pada proses mentransmisikan
pengetahuan, membangun afeksi, dan mengembangkan fungis psikomotorik,karena di
dalamnya terkandung finsi-funsi produksi.30 Guru yang mogok mengajar apapun
alasannya merupakan counter productive proses pendidikan dan pembelajaran yang
bermisi kemanusiaan universal itu.31 dari sisi etika keguruan juga tidak layak
terjadi sebab figu guru menjadi panutan di kalangan masyarakat setidaknya bagi
para siswanya sendiri. Disini predikat guru sebagai pendidikitu berkonotasi
dengan tindakan-tindakan yang senantiasa memberi contoh yang baik dalam semua
perilakunya.
Sebagai
pendidik, guru harus professional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang
Sitem Pendiidkan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2:
Pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan,
serta melakukan penelitian dan pengabidaian kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan
pada pergurua tinggi.
Ketentuan ini mencakup tipe macam kegiatan
yang harus dilaksanakan oeh guru yaitu pengajaran, penelitan, dan pengabdian
masyarakat. Beban ini tidak ada bedanya denganbebabn bagi dosen. Tiga macam
kegiatan tersebut secara hierarchy melambangkan tiga upaya berjenjang dan
meluas gerakannya. Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas rutin, penelitian
melambangkan upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian melambangkan
pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang dicapai
tersebut.
Dari ketiga kegiatan tersebut, terutama
penelitian menuntut sikap gurui dinamis sebagai seorang professional. ‘seorang
profesional adalah seorang yang terus meneur berkembang atau trainable.33 Untuk
mewujudkan keadaan dinamis ini pendidikan guru harus mampu membeklai kemampuan
kreativitas, rasionalitas, ketrlatihan memecahkan masalah , dan kematangan
emosionalnya.34 Semua bekal ini dimaksudkan mewujudkan guru yang berkualitas
sebagai tenaga profesional yang sukses dalam menjalankan tugasnya.
Keberhasilan guru dapat ditinjau dari dua
segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, guru berhasil bila mampu
melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif baik fisik, mental maupun
sosial dalam proses pembelajaran, juga dari gairah dan semangat mengajarnya
serta adanya rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil, guru berhasil bila
pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku pada sebagian besar
peserta didik ke arah yang lebih baik.35 Sebaliknya,dari sisi siswa, belajar
akan berhasil bila memenuhi dua persyaratan: (1) belajar merupakan sebuah
kebutuhan siswa, dan (2)ada kesiapan untuk belajar, yakni kesiapan memperoleh
pengalaman-pengalaman baru baik pengetahuan maupun ketrampilan.36
Hal ini merupakan gerakan dua arah, yaitu
gerakan profesional dari guru dan gerakan emosional dari siswa. Apabila yang
bergerak hanya satu pihak tentu tidak akan berhasil, yang dalam istilah
sehari-hari disebut bertepuk sebelah tangan. Sehebat-hebatnya potensi guru
selagi tidak direspons positif oleh siswa, pasti tidak berarti apa-apa. Jadi
gerakan dua arah dalam mensukseskan pembelajaran antara guru dan siswa itu
sebagai gerakan sinergis.
Bagi guru yang profesioanl, dia harus memiliki
kriteria-kriteria tertentu yang positif. Gilbert H. Hunt menyatakan bahwa guru
yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria:
-
sifat positif dalam membimbing siswa
-
pengetahuan yang mamadai dalam mata pelajaran yang dibina
-
mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap
-
mampu menguasai metodologi pembelajaran
-
mampu memberikan harapan riil terhadap siswa
-
mampu merekasi kebutuhan siswa
-
mampu menguasi manajemen kelas37
Disamping
itu ada satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi guru yang
profesional yaitu kondisi nyaman lingkungan belajar yang baik secara fisik
maupun psikis. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 2 bagian
2 di muka menyebut dengan istilah menyenangkan. Demikia juga E. Mulyasa menegaskan,
bahwa tugas guru yang paling utama adalah bagaimana mengkondisikan lingkungan
belajar yang menyenangkan, agar dapat membangkitkan rasa ingin tahu semua
peserta didik sehingga timbul minat dan nafsunya untuk belajar38. Adapun Bobbi
Deporter dan Mike Hernachi menyarankan agar memasukkan musik dan estetika dalam
pengalama belajar siswa39. karena musik berhubungan dan mempengaruhi kondisi
fisiologis siswa40 ayng diiringi musik membuat pikiran selalu siap dan mampu
berkonsentrasi.41 dalam situasi otak kiri sedang bekerja, masuk akan
membangkitkan reaksi otak kanan yang intuitif dan kreatif sehingga masukannya
dapat dipadukan dengan keseluruhan proses42.
Terkait
dengan suasana yang nyaman ini, perlu dipikirkan oleh guru yang profesional
yaitu menciptakan situasi pembelajaran yang bisa menumbuhkan kesan hiburan.
Mungkin semua siswa menyukai hiburan, tetapi mayoritas mereka jenuh dengan
belajar. Bagi mereka belajar adalah membosankan, menjenuhkan, dan di dalam
kelas seperti di dalam penjara. Dari evaluasi
yang didasarkan pada pengamatan ini, maka sangat dibutuhkan adanya
proses pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi
“pekerjaan rumah”bagi para guru khususnya guru yang profesional.
Kesimpulan
Selama ini model pembelajaran dalam
pendidikan masih seperti ungkapan paul Freire, pendidikan”gaya bank” yang
bersifat penindasan pada siswa. Keadaan ini harus diubah menjadi pendidikan
(Pembelajaran) yang demokratis yang membawa misi pembebasan bagi mereka. Untuk
mewujudkan model pendidikan yang emansipatoris itu dibutuhkan guru yang
profesional.
Profesional guru tercermin dalam
berbagai keahlian yang dibutuhkan pembelajaran baik terkaut dengan bidang
keilmuan yang diajarkan,”kepribadian”, metodologi, pembelajaran, maupun
psikologi belajar.
DAFTAR
RUJUKAN
- Pernyataan Ahli Sosiologi ini dikutip Sodiq. A Kuntoro, Dimensi Manusia dalam Pemikiran Indonesia, Yogyakarta: CV Bur Cahaya, 1985)H. 34
- Bobbi Deporter dan Mieke Hernachi, Quantum Learning Membiasakan BelajarNyaman dan Menyenangkan,(Bandung:Kaifa, 2002) H.24
- Paulo Freire, Politik Pendidikan dan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dengan ead, 2002) H.28
- Freire, Pendidikan, Hh 51-52
- S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), H.116
- Mska Masstlon,Tracking from Command to Discovery, (California; Wadsworth Publishing Company, 1972), H.43
- Donald P. Kauchos\ck And Paul D. Eggen , Learning And Teaching Research Basid Methods,(Baston: Allya And Baron, 1998), P.6
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Ttp: Pustaka Widyatama, Tt), P.6
- Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan DemokratisSebuah Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidika, (Jakarta: Prenada Media, 2004), H. 92
- Nasution, Sosiologi, H. 116
- Jerry Aldridge And Renetta Soldman, Current Issues And Trends In Education, (Boston, USA: Allya And Baron, 2002), H. 77
- Sudarwan Danim,Agenda Pemabruan Sistem Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), H. 191-192
- M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan(Islam dan Umum),(Jakarta: Bumi Aksara, 1991). H. 105
- H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru PendidikanNasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), H. 137
- Ibid
- Djohar, Pendidikan Strategik Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan ,(Yogyakarta:LESFI, 2003), H.
- E. Mulwoso, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsp, Karakteristik dan Implementas, (Bandug: PT Remaja Rosdakarya,2002) H.187
- S.K Kockar, Methods And Technique of Teaching, Delhi India: Sterling Publisher, 1967), P. 28
- Gilbert H. Hunt, Et Al. efectie Teaching, Preparation And Implementation, Illnois: Charless C. Thomas Publiesher, 1999), P. 15-16
- Mulyoso, Kurikulum,H. 188
Komentar