Perayaan tahun baru dalam persfektif ke-Islaman

Perayaan tahun baru dalam persfektif ke-Islaman


Hari Jumat (31/12) ini merupakan hari Jumat terakhir di Tahun 2010, karena besoknya kita sudah berada di tahun yang berbeda. Perpindahan tahun masehi (tahun baru) sudah menjadi agenda besar bagi seluruh masyarakat seluruh dunia untuk melakukan “pesta-pesta” yang dilakukan secara glamour. Dan ironisnya kebanyakan ummat Islam adalah sponsor dan sekaligus sebagai pelaku utama didalam pesta ini.

Sejarah kalender gregorian (masehi)
Kalender Gregorian atau kalender Masehi, sudah menjadi standar penghitungan hari internasional. Pada mulanya kalender ini dipakai untuk menentukan jadual kebaktian gereja-gereja Katolik dan Protestan. Kalender Gregorian adalah kalender murni surya yang bertemu siklusnya pada tiap 400 tahun (146097 hari) sekali. Satu tahun normal panjangnya 365 hari, tiap bilangan tahun yang habis dibagi 4 tahunnya memanjang menjadi 366 hari, namun tidak berlaku untuk kelipatan 100 tahun dan berlaku kembali tiap kelipatan 400 tahun. Sebagai contohnya tahun 2000 adalah tahun panjang (kabisat, leap year) sedangkan tahun 1900 tahun normal.

Kalender Gregorian adalah pembaruan dari kalender Julian. Dalam 16 abad pemakaian kalender Julian, titik balik surya sudah bergeser maju sekitar 10 hari dari yang biasanya ditengarai dengan tanggal 21 Maret tiap tahun. Hal ini membuat kacaunya penentuan hari raya Paskah yang bergantung kepada daur candra dan daur surya di titik balik tersebut. Dikawatirkan Paskah akan semakin bergeser tidak lagi jatuh di musim semi untuk belahan bumi utara, serta semakin menjauhi peringatan hari pembebasan jaman Nabi Musa (penyeberangan laut merah).

Pemikiran tentang koreksi ini sebenarnya telah mulai dipergunjingkan dengan keluarnya tabel-tabel koreksi oleh gereja sejak jaman Paus Pius V pada tahun 1572. Dekrit rekomendasi baru dikeluarkan oleh penggantinya, yaitu Paus Gregorius XIII, dan disahkanlah pada tanggal 24 februari 1582. Isinya antara lain tentang koreksi daur tahun kabisat dan pengurangan 10 hari dari kalender Julian. Dengan demikian, tanggal 4 Oktober 1582 Julian, esoknya adalah tanggal 15 oktober 1582 Gregorian. Tangal 5 hingga 14 Oktober 1582 tidak pernah ada dalam sejarah kalender ini. Sejak saat itu, titik balik surya bisa kembali ditandai dengan tanggal 21 Maret tiap tahun, dan tabel bulan purnama yang baru disahkan untuk menentukan perayaan Paskah di seluruh dunia. Pada mulanya kaum protestant tidak menyetujui reformasi Gregorian ini, baru pada abad berikutnya kalender itu diikuti. Dalam tubuh Katolik sendiri, kalangan gereja ortodox juga bersikeras untuk tetap mengikuti kalender Julian, namun pemerintahan demi pemerintahan mulai mengakui dan akhirnya pemakaiannya semakin meluas seperti yang kita lihat sekarang.

Perbedaan kalender hijriah dan masehi
Sistim penanggalan Hijriyah berbeda dengan pada penanggalan Masehi. Pada sistem kalender Masehi, sebuah hari atau tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Namun pada sistem penanggalan Hijriah, sebuah hari dimulai ketika terbenamnya matahari.

Kalender Hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan kalender lunar (qomariyah), memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari).Hal inilah yang menjelaskan 1 tahun kalender Hijriah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan 1 tahun kalender Masehi. Faktanya, siklus sinodik bulan bervariasi. Jumlah hari dalam satu bulan dalam kalender Hijriah bergantung pada posisi bulan, bumi dan matahari. Usia bulan yang mencapai 30 hari bersesuaian dengan terjadinya bulan baru (new moon) di titik apooge, yaitu jarak terjauh antara bulan dan bumi, dan pada saat yang bersamaan, bumi berada pada jarak terdekatnya dengan matahari (perihelion).

Penentuan awal bulan (new moon) ditandai dengan munculnya penampakan (visibilitas) bulan sabit pertama kali (hilal) setelah bulan baru (konjungsi atau ijtimak). Pada fase ini, Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya matahari, sehingga posisi hilal berada di ufuk barat. Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, maka jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari, dan mana yang memiliki 30 hari. Semuanya tergantung pada penampakan hilal.

Seperti diketahui banyak umat muslim, kalender Hijriyah atau kalender Islam karena pada tahun pertama kalender ini adalah tahun di mana terjadi peristiwa hijrah-nya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 Masehi.

Bagaimanakah menyikapi tahun baru masehi?
Perayaan tahun baru masehi sudah menjadi tren dalam kehidupan masyarakat, tren yang sudah meng-global sehingga dapat menembus relung-relung agama, budaya dan kearifan lokal. Sudah jamak dilakukan ditanah air tercinta kebiasaan-kebiasaan yang dibangun dalam perayaan tahun baru di berbagai penjuru tanah air baik yang dikota besar ataupun ditingkat desa adalah dengan merayakannya secara hura-hura , seperti begadang semalam suntuk, konvoi di jalan raya, panggung hiburan rakyat, pesta kembang api, tiup terompet pada detik-detik memasuki tahun baru, wayang semalam suntuk bahkan tidak ketinggalan dan ditambah lagi gemerlap yang ditawarkan oleh beberapa stasiun televisi yang menjadikan acara tahun baru sebagai program unggulan bertabur bintang yang bertujuan untuk menyita waktu dan perhatian masyarakat di depan televisi. Tentunya dari fenomena yang terjadi diatas sudah menjadi rutinitas semu bagi bangsa ini. Sebenarnya bagaimana Islam memandang perayaan tahun baru?

Di zaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua) yang merupakan Dewa bagi semua permulaan. Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa (abad permulaan Masehi). Seiring muncul dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya perayaan ini djadikan sebagai satu perayaan yang satu paket dengan Natal. Itulah yang menjadi sebab ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu: “Merry Christmas and Happy New Year”.

Dalam perspektif Agama, Islam melarang umatnya untuk meniru-niru, mencontoh, menyerupai, mengikuti, dan menyamai umat di luar islam ( Tasyabbuh), hal ini berdasarkan Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maa’idah ayat 3 : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Mengutip apa yang ditulis oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam buku beliau Risalah Bid’ah, didalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa agama Islam telah sempurna dan lengkap,yang tidak memerlukan sedikitpun tambahan dan pengurangan, apapun bentuk dan alasannya dan tambahan-tambahan tersebut meskipun disangka baik atau dari siapa saja datangnya meskipun dianggap benar oleh sebagian manusia, adalah suatu perkara besar yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasulnya. Akan tetapi sangat dicintai oleh iblis dan pengikutnya.

Secara umum perayaan tahun baru memang sudah menjadi perayaan yang umum (global) dilakukan oleh ummat manusia, akan tetapi kalau dilihat dari segi sejarah, aktivitas keagamaan dan subtansi-nya, perayaan tahun baru (masehi) merupakan domainnya suatu agama (nasrani) maka sebagai Ummat Islam kita dilarang untuk mengikuti dan berpartisifasi dalam kegiatan ibadah agama lain.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan : Suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menanyakan kepadanya: “Apakah disana ada berhala sesembahan orang Jahiliyah?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya, “Apakah di sana tempat dirayakannya hari raya mereka?” Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikan nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dan dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam”. (HR. Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan terlarangnya menyembelih untuk Allah di tempat yang bertepatan dengan tempat yang digunakan untuk menyembelih kepada selain Allah, atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi’ar-syi’ar kekufuran. Perbuatan ini juga menyerupai perbuatan mereka dan menjadi sarana yang mengantarkan kepada syirik. Apalagi ikut merayakan hari raya mereka, maka di dalamnya terdapat wala’ (loyalitas) dan dukungan dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar kekufuran. Akibat paling berbahaya yang timbul karena berwala’ terhadap orang kafir adalah tumbuhnya rasa cinta dan ikatan batin kepada orang-orang kafir sehingga dapat menghapuskan keimanan.

Penutup
Bagi seorang muslim ada beberapa mudharat yang ditimbulkan dari perayaan tahun baru ini diantaranya pertama Merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir yang telah dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, kedua Campur baur (Ikhtilath) antara pria dan wanita seperti yang kita lihat pada hampir seluruh perayaan malam tahun baru bahkan sampai terjerumus pada perbuatan zina, ketiga. Pemborosan harta dan waktu, karena uang yang mereka keluarkan untuk merayakannya (membeli makanan, bagi-bagi kado, meniup terompet dan lain sebagainya) adalah sia-sia di sisi Allah SWT dan tradisi konvoi serta kebut-kebutan di jalan raya dapat memberikan mudharat yang lebih besar yaitu kehilangan waktu, tenaga dan bahkan nyawa.

Penulis adalah Guru Agama Islam SMP dan Wakil Ketua Bidang Hubungan Organisasi dan Lembaga MUI Kota Tanjung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ESENSI SUPERVISI PENDIDIKAN

PENDIDIKAN DI AMERIKA LATIN DARI KOLONIALISME HINGGA NASIONALISME oleh Tuah Manurung

21 Pacar Ronaldo