“GURU TAK BERKARAKTER RACUN MASYARAKAT”
Pidato Sambutan Ki Mangunsarkoro
sebagai Menteri Pendidikan & Pengajaran RI dalam Kongres PGRI, 1950
Foto Ki Mangunsarkoro sedang
berdiskusi dengan Bung Karno
Saudara Acting Presiden
Saudara Pimpinan Kongres PGRI
Hadirin yang terhormat,
Sejak tercapainya kedaulatan oleh
bangsa kita, maka yang paling pokok bagi bangsa kita ialah mengisi kemerdekaan
negara, agara kemerdekaan itu betul – betul berarti bagi bangsa Indonesia,
berarti sebagai jembatan kesejahteraan.
Dalam mengisi kemerdekaan itu, maka
amat pentinglah kedudukan pendidikan dan pengajaran yang diusahakan bangsa
kita. Memang, apa yang dikehendaki suatu negara pada masa yang akan datang,
dimana-mana diseluruh dunia ini, pasti dimasukkan dalam dasar dasar dan tujuan
pendidikan serta pengajarannya.
Itulah sebabnya, maka pada ini waktu
yang menjadi pokok bagi kita ialah nasionalisering daripada pendidikan dan
pengajaran, dari yang rendah sampai yang tinggi. Nasionalisering ini berarti
mencocokkan pendidikan dan pengajaran kita dengan kepentingan kita yang
sebenar-benarnya. Oleh pemerintah sekarang diadakan Undang-Undang Pokok Pendidikan
dan disamping itu sekarang rencana undang-undang pendidikan dan pengajaran
untuk sekolah rendah, sekolah menengah dan sekolah tinggi serta pula
undang-undang kewajiban belajar sedang dimasak. Itu semuanya adalah untuk
memenuhi keharusan nasionalisering..
Tetapi Kongres yang terhormat,
Undang-Undang itu semuanya tidak
akan ada arinya, jika para guru semuanya yang memasak pendidikan dan pengajaran
itu tidak hidup dala suasana nasionalisering itu. Untuk bisa hidup dalam
suasana nasionalisering itu haruslah jiwa guru berubah
(Dalam zaman kolonial guru
diwajibkan berdiri sebagai pabrik klerk dan juru tulis)
Dalam zaman kolonial guru diwajibkan
berdiri sebagai pabrik klerk dan juru tulis daripada pemerintah penjajahan,
guru dijadikan pelopor politik penjajahan. Sekarang itu harus lain. Sekarang
tiap-tiap guru harus bersifat sebagai pandita yang menunjukkan kewajiban
murid-muridnya sebagai satriya bangsa, sebagai perjurit bangsa, perjurit yang
akan mewujudkan perikemanusiaan di kalangan masyarakat Indonesia. Disitulah
tergambar perobahan yang radikal yang harus terjadi dalam jiwa guru. Berhasil
atau tidaknya nasionalisering itu pertama-tama tergantung pada dapat dan
tidaknya perubahan jiwa itu terjadi sebagai yang digambarkan saja.
Dari pada itu disamping nasionalisering
haruslah ada “uitbreiding” dari pada usaha pendidikan dan pengajaran yang
seluas-luasnya. Untuk ini jumlah guru haruslah dilipatgandakan. Dalam waktu
yang telah lampau, karena penjajahan Belanda dan Jepang, “guru” dipaksa tidak
bisa berdiri tegak dalam keyakinannya. Ia dipaksa menjadi alat politik
penjajahan. Rupanya ini berpengaruh jahat sekali pada kedudukan guru dalam
masyarakat, malahan sudah menimbulkan kelemahan keyakinan terutama di kalangan
guru yang hidupnya sehari-hari agak dekat dengan bangsa penjajah itu, ialah
guru-guru yang tinggi sekolahnya. Ini terbukti pada jumlahnya guru sekolah
menengah yang menyeberang dalam jaman pendudukan Belanda pada waktu guru
semestinya menjadi symbol kekuatan keyakinan. Itu semua adalah factor-faktor, yang
menjadikan kurangnya dihargai dalam masyarakat. Dengan perubahan situasi
politik sekarang, mudah mudahan penyakit yang sebabkan pukulan penjajahan itu
sembuh sama sekali.
Dalam pada itu perlu juga adanya
perbaikan kedudukan guru, baik qua opleiding maupun qua pekerja yang mempunyai
kedudukan istimewa. Bukan guru karena guru itu orang yang bersifat istimewa,
tetapi dipandang dari kaca mata jiwa amat berat tanggungannya. Perlu bagi
seorang guru bisa menuangkan hasratnya 100 % kepada murid-muridnya ialah anak
masyarakat kita, malahan harapan masyarakat. Lain dari pada it perlu masyarakat
tahu, bahwa seperti pekerjaan orang yang bekerja di tambang batu bara amat
berat bagi jasmaninya, pekerjaan guru itu amat berat rokhaninya.
(Guru tak berkarakter, racun masyarakat)
Siapa yang mau menyelidiki
procentage guru yang terserang tering ataupun penyakit linglung akan mengakui
kebenaran hal itu. Keistimewaan guru akhirnya terletak pula dalam pengaruh
karakternya. Buat bekerja iasa yang kurang karakternya, tidak begitu
membahayakan. Tetapi guru yang kurang karakternya adalah racun masyarakat.
Sebaliknya guru yang baik dan kuat karakternya adalahsaka guru dan sumber
kebahagiaan masyarakat.
Kongres yang terhormat, itulah
gambar kedudukan guru dalam masyarakat. Hal itu semua harus mendapat perhatian
oleh seluruh rakyat kita dan istimewa dari kaum guru seluruhnya dan pemerintah.
Mudah-mudahan Kongres ini dapat
enghadapi soal ini sebagai Kongres guru, KOngres pendidik masyarakat kita.
Masyarakat akan mengukur nilai guru kita dengan putusan Kongres PGRI ini.
Semoga Kongres PGRI bisa menjadi
satu “mijlpaal” dalam sejarah perguruan kita,malahan satu “mijlpaal” juga dalam
sejarah perjuangan kebangsaan yang kini meningkat pada satu babakan yang baru,
ialah pembentukan negara kesatuan dan negara demokrasi di segala lapangan.
Komentar