GURU, PGRI DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN
Oleh :Tuah Manurung
Tanggal 25 Nopember ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari guru melalui Kepres Nomor 78 Tahun 1994, Di tanggal yang sama organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dilahirkan. 67 tahun yang lalu, seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan para guru yang tergabung didalam berbagai organisasi keguruan berkomitmen untuk meleburkan diri dalam satu wadah organisasi tunggal yaitu PGRI. Dari usia yang sudah cukup dewasa PGRI mampu eksis dan tetap berkomitmen dalam perjuangan nasib guru di republik tercinta ini.
PGRI Dalam Perjalanan Sejarah
Tentunya, perjalanan dan perjuangan
PGRI tidak luput dari catatan sejarah. PGRI yang diawal-awal kelahirannya
berada ditengah situasi sulit mampu mengorganisir “kaum guru” untuk menyatukan
visi kebangsaan, satu langkah untuk mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia dan memiliki sumbangan besar terhadap pembangunan bangsa. Cikal bakal
organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB)
tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun
1932. Semangat kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh di kalangan guru-guru
bangsa Indonesia. Organisasi perjuangan huru-guru pribumi pada zaman Belanda
berdiri tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Organisasi
ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru
Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar belakang pendidikan
yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat
Angka Dua. Sejalan dengan keadaan itu maka disamping PGHB berkembang pula
organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan yang lainnya. Kesadaran
kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru
pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Hasilnya
antara lain adalah Kepala HIS yang dulu selalu dijabat orang Belanda, satu per
satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan ini makin berkobar
dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita. Perjuangan guru tidak lagi
perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi
dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak
“merdeka.” Pada tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah
menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah
Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat
tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya, kata “Indonesia” ini sangat
didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia. Pada zaman pendudukan Jepang segala
organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak
dapat lagi melakukan aktivitas.
Di zaman orde baru kekuatan guru
yang terstruktur dan massif menjadi daya tarik tersendiri bagi kekuatan politik
pada saat itu, rezim yang berkuasa pada saat itu (orde baru) menempatkan PGRI
sebagai onderbouw dan corong
kekuasaan karena sebagian pengurusnya adalah orang yang aktif di parpol (
golkar). Itulah yang menyebabkan para guru menjadi trauma, kalau-kalau
organisasi guru seperti PGRI Cuma dijadikan alat sesaat dalam dalam membangun
citra politik partai tertentu. Pada era tersebut strategi politik penguasa
berlaku hampir pada tiap organisasi profesi, ormas, dan OKP yang mempunyai
basis massa. Bergulirnya Era Reformasi memberikan posisi yang dilematis bagi PGRI, disatu sisi PGRI
belum mampu dan gamang keluar dari bayang-bayang kekuasaan dan disisi lain
harus mengikuti perkembangan zaman dan situasi politik yang ada. Mayoritas guru
sebagai “penanam saham” menghendaki organisasi ini berhenti menjadi corong kekuasaan dan berdiri independen diatas
kaki sendiri. Dan didalam kongres XIX PGRI secara organisasi mendeklarasikan
diri sebagai organisasi profesi yang independen dan tidak berafiliasi politik
dengan partai politik manapun. Hal ini dilihat dalam sikap politik PGRI yang
disampaikan pada Konkernas III PGRI di Gorontalo yang secara tegas menyatakan
diri sebagai organisasi non politik praktis.
Masalah Guru;
Duka PGRI.
Guru
yang berkualitas selalu mengembangkan profesionalismenya secara total. Status
(PNS/Non PNS) bukan menjadi ukuran profesionalisme, idealnya kinerja yang layak
untuk dihargai. Walaupun sulit guru
harus mampu untuk mengembangkan dan mempertahankan idealismenya. Namun,
idealisme ini akan kian tumbuh jika ada kebijakan politik pendidikan yang
mengayomi, melindungi, dan menghargai profesi guru. Pemerintah (dinas
pendidikan) sudah seharusnya merealisasikan perundang-undangan (UU No.14/ 2005
Pasal 37) yang melindungi profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri
atau swasta, dengan memberi jaminan minimal yang diperlukan agar kesejahteraan
dan martabat guru terjaga. Guru harus terlindungi dari persoalan hukum,
ekonomi, social dan kekayaan intelektual. Visi guru sebagai pelaku perubahan
dan pendidik karakter. Menjadi pelaku
perubahan, perubahan itu harus tampil pertama-tama dalam diri guru. Hal inilah yang menjadi pemikiran dan
strategi utama bagi para guru agar mampu menjadi pelaku perubahan dan pendidik
karakter yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita dewasa ini.
Di
zaman persaingan ketat seperti sekarang, kinerja menjadi satu-satunya cara
untuk mengukur mutu seorang guru. Karena itu, status pegawai negeri, swasta,
tetap, atau honorer tidak terlalu relevan dikaitkan gagasan tentang
profesionalisme kinerja seorang guru. Di banyak tempat lembaga swasta yang
besar dan maju, status pegawai tetap malah membuat lembaga pendidikan swasta
tidak mampu mengembangkan gurunya secara profesional sebab mereka telah merasa
mapan. Demikian juga yang menjadi pegawai negeri, banyak yang telah merasa
nyaman sehingga lalai mengembangkan dirinya.
Oleh karena itu guru harus kembali pada jati dirinya yaitu memiliki
sifat-sifat tertentu, yaitu ramah, terbuka, akrab, mau mengerti, dan mau
belajar terus-menerus agar semakin menunjukkan jati diri keguruannya (paedagogik). Sejauh ini, pemerintah
hanya mampu menuntut guru untuk ikut sertifikasi, tetapi ia gagal memberi
penghargaan dan perlindungan atas profesi guru, ini dapat dilihat dari
banyaknya guru yang berurusan dengan hukum, dan ini membuat trauma bagi guru
dalam menjalankan tugas-tugasnya. Pemerintah memiliki tugas mulia dalam
menyejahterakan nasib guru. Negara mampu melakukan itu jika ada keinginan
politik yang kuat. Ongkos sosial dan politik pada masa depan akan lebih ringan
jika pemerintah mampu memberi perlindungan dan kemartabatan profesi guru,
terutama memberi jaminan ekonomi minimal agar para guru dapat hidup
bermartabat, sehingga mereka dapat memberi pelayanan bermutu bagi masyarakat
dan negara.
Penutup
Dihari
jadi yang ke 67 ini semoga PGRI mampu berkolaborasi dengan pemerintah untuk terus berjuang meningkatkan
perhatian dan pemikirannya kepada profesi guru dari tahun ke tahun agar
guru-guru di negri tercinta ini kembali pada jati dirinya. Dirgahayu Guru.
Dirgahayu PGRI.
(Penulis adalah Guru SMA Negeri 7
Tanjungbalai dan Wakil Ketua PGRI Kota Tanjungbalai )
Komentar