BERCERMIN PADA KACA YANG BURAM?


Artikel ini pernah di muat di Harian Mandiri 25/3/2013
Berbicara tentang dunia pendidikan dan karakter bangsa bagaikan dua sisi mata uang yang memiliki keterkaitan dan ketergantungan yang sangat erat. Analisis serta persepsi masyarakat yang kritis dengan persoalan bangsa saat ini selalu menempatkan dunia pendidikan mempunyai peran dan fungsi yang cukup besar dalam mengawal karakter bangsa. Dilain sisi dunia pendidikan saat ini tidak berdiri sendiri dalam membangun karakter bangsa, dan justru disisi lain “polusi dan virus “yang menghancurkan karekteristik bangsa berasal dari berbagai sisi lain yang berkaitan dengan kehidupan social masyarakat. Konteks kekinian mata masyarakat sebagai objek pendidikan selalu dicokoki dengan persoalan discharacther dan dekadensi (kemerosotan) akhlak. Issu dan fakta tentang korupsi, mutilasi, perselingkuhan, bahkan urusan syahwat “tempat tidur”pun menjadi komoditas public dan disajikan secara vulgar. Disadari atau tidak guru secara formal memiliki keterbasan waktu hanya lima jam bertatap muka dengan peserta didik, selepas itu sembilan belas jam lagi peserta didik mencari “guru-guru” lain untuk memperoleh, nilai, kepribadian dan pengetahuan. Saat ini Persoalan karakter bangsa menjadi topic yang hangat diperbincangkan, kerap terjadi perdebatan di forum seminar dan diskusi ilmiah lainnya yang tujuannya hanya untuk mencari solusi tentang persoalan karakter bangsa yang sudah siaga I. seiring dengan itu muncul pertanyaan apakah “Pendidikan Karakter” harus dijadikan satu bidang study yang berdiri sendiri atau diintegrasikan dengan mata pelajaran yang sudah ada. Atas dasar ini jugalah Menteri Pendidikan Nasional merekomendasikan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) disempurnakan menjadi Kurikulum 2013 yang lebih ramah anak dan memiliki karakteristik kebangsaan. Memahami Pendidikan Karakter. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Pribadi yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas Tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona (1997), tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Guru Berkarakter Sumber Masyarakat Yang Berkarakter. Pepatah mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Tentunya pepatah ini bukan menyudutkan guru secara pribadi, secara subtansi pepatah ini menunjukkan peran seorang guru yang sangat besar dalam membentuk dan membina kepribadian (karakter) peserta didik. Justru didalam pepatah ini mampu menggambarkan secara gamblang tentang tiga peran dasar seorang guru,yaitu guru sebagai penyampai (transform) nilai (value), kepribadian (karakter) dan pengetahuan (knowledge). Intinya karakter yang ada pada peserta didik (masyarakat) sedikitnya dipengaruhi dari kepribadian (karakter) seorang guru. Wajar saja masyarakat saat ini bertanya dan membandingkan kondisi kerusakan moral bangsa tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteran guru (baca: uang sertifikasi). Harapan masyarakat yang menjadikan dunia pendidikan (guru) sebagai benteng terakhir dalam membendung arus globalisasi tidak menjadi kenyataan apabila dilihat dari massif nya informasi yang hadir dihadapan kita yang menayangkan secara utuh prilaku menyimpang dimasyarakat (korupsi, mutilasi, pemerkosaan, sek bebas, narkoba dan lain-lain). Tentunya merubah kondisi ini bukan semata dibebankan pada pundak guru saja, tetapi masyarakat, media, politisi, aparatur hukum dsb harus bahu membahu dalam melakukan pendidikan dan pengajaran tentang karakter bangsa. Sebagai guru memiliki tantangan yang sangat besar dengan diberlakukannya program pendidikan karakter ini, guru harus hadir dengan karakteristik yang diharapkan, karena tidak mungkin peserta didik akan berkarakter jika gurunya tidak memiliki karakter. Anehnya dewasa ini untuk menemukan karakter pada diri guru sangat sulit, hal ini dilihat semakin banyaknya terjadi kasus korupsi yang dilakukan oleh manejemen sekolah, jika guru memiliki karakter dan memahami peraturan kasus-kasus penyelewengan dana BOS dan biaya lainnya tidak akan terjadi, sebab guru harus mengetahui dan ikut serta dalam pengawasan keuangan sekolah, tentunya hak dan kewajiban dalam ini sedikit guru yang tahu dan sebagian besar lainnya tidak mau tahu, dan tanpa sadar sikap “tidak mau tahu” inilah yang disampaikan kepada peserta didik melalui transformasi behavior. Lain hal nya dengan “tidak berdaya”nya guru atau kepala sekolah melawan kebijakan politik “rezim” pemerintah daerah yang lagi trend melakukan mutasi terhadap guru dengan “asal-asalan”, idealnya guru atau kepala sekolah menggunakan jalur hukum formal (PTUN) untuk menyampaian pesan (message) kepada penguasa bahwa guru, kepala sekolah dan dunia pendidikan bukanlah “barang” yang mudah diobok-obok. Sayangnya sikap pasrah dan “tidak berdaya”nya guru atau kepala sekolah ini menjadi media transformasi knowledge yang salah terhadap peserta didik. Nilai-nilai kejujuran juga wajib dipertanyakan kepada “guru” pada saat ini, bercermin pada issu-issu kecurangan pada Ujian Nasional tahun-tahun sebelumnya yang diduga melibatkan guru (pepatah : “ tak mungkin ada asap kalau tidak ada api”), menjadi Tim Sukses (TS) UN, mengorbankan jati diri sebagai guru hanya untuk menyahuti syahwat kekuasaan. Mengorbankan nilai-nilai kejujuran (transformasi value) dengan dalih menyelamatkan peserta didik. Padahal guru harus menyadari dana yang dikucurkan ratusan milyar rupiah diperuntukkan sebagai biaya mengevaluasi tingkat kemajuan pendidikan di Negara Republik Indonesia ini bukan untuk mengukur tingkat manipulasi. Penutup Sudah sepantasnya guru (kita) bercermin pada kaca yang jernih bukan pada kaca yang buram, bagi kita (guru) peserta didik adalah cermin bagi kita, kalau peserta didik memiliki karakter (jernih) menunjukkan karakter gurunya, tapi masyarakat juga mempunyai persepsi jika peserta didik tidak memiliki karakter (buram) juga menunjukkan gurunya. Melihat berbagai indikator yang ada, tampak bahwa untuk menjadi guru yang sejatinya bukan hal yang mudah. Guru adalah desainer masa depan anak. Melalui sentuhannya, masa depan anak akan banyak ditentukan. Kesalahan perlakuan bisa berdampak fatal terhadap perkembangan anak, yang tidak hanya terjadi pada hari ini tapi justru nanti di kemudian hari. Dalam sejarah perkembangan profesi guru di Indonesia, kita bisa melihat fakta bahwa dulu proses rekrutmen guru masih sangat longgar. Posisi guru seolah-olah bisa diisi oleh siapa pun, tanpa banyak melihat kualifikasi dan kompetensi yang dimilikinya. Dalam bahasa sederhananya, “yang penting ada guru” atau ” asal ada guru”. Memasuki abad ke-21, tantangan hidup dan kehidupan sangatlah dinamis dan kompleks. Semua ini mau-tidak mau menghendaki adanya perubahan yang mendasar dan signifikan terhadap proses pendidikan dan pembelajaran peserta didik, yang di dalamnya mengandung implikasi kuat terhadap perubahan peran dan tugas yang dilakukan oleh guru.Mungkin karena alasan itulah, saat ini pemerintah sedang berusaha menata dan membenahi profesi guru ini, mulai dari proses pendidikan calon guru (penataan LPTK), saat mengawali karir guru (program induksi), dan selama menjadi guru (penilaian kinerja guru dan pengembangan keprofesian berkelanjutan). Kita yakini bahwa semua itu ditujukan agar pendidikan benar-benar dipegang oleh orang-orang yang memiliki keahlian di bidangnya. sehingga pada gilirannya pendidikan dan kehidupan di negeri ini pun dapat hadir menjadi lebih baik lagi. Semoga!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ESENSI SUPERVISI PENDIDIKAN

21 Pacar Ronaldo

PENDIDIKAN DI AMERIKA LATIN DARI KOLONIALISME HINGGA NASIONALISME oleh Tuah Manurung