MENGGUGAT ORGANISASI PROFESI GURU

Amanat UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mewajibkan guru untuk membentuk dan berpartisifasi dalam organisasi guru, organisasi guru  berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat.Nah, dalam konteks ini menjadikan pertanyaan yang mendasar bagi kita tentang sejauh mana kesadaran guru untuk mencempungkan diri kedalam organisasi profesi, dan sejauh mana organisasi profesi tersebut dapat mengayomi, memberdayakan dan melindungi anggotanya?
Di negara maju seperti Inggris dan Amerika memiliki organisasi guru yang kuat dan mapan serta memiliki bargaining yang kuat terhadap pemerintah, sehingga di negara – negara yang memiliki organisasi guru yang kuat keberadaan guru menjadi ‘asset yang dihargai oleh pemerintah.

Menggagas Organisasi Guru Yang Pro Guru.
            Sama dengan organisasi profesi –profesi yang lainnya, idealnya organisasi guru yang ada harus mampu menyusun menetapkan dan menegakkan kode etik guru; memberikan bantuan hukum kepada guru; memberikan perlindungan profesi guru; melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan memajukan pendidikan nasional.
Perubahan  zaman berujung terjadinya perubahan paradigma pendidikan nasional menempatkan guru sebagai “makhluk” yang dituntut  professional, dan ke-profesionalan guru harus didukung dengan organisasi profesi yang professional juga. Modernisasi organisasi profesi guru adalah hal yang mutlak harus dilakuan.
 Organisasi modern saat ini, tidak lagi mengutamakan segi kuantitas anggota belaka, namun lebih fokus terhadap kualitas massanya. Lebih utama lagi jika yang dimaksud merupakan organisasi profesi. Organisasi profesi harus mampu menjadi dan dijadikan wadah pengembangan anggota. Kesadaran anggota terhadap pentingnya organisasi profesi tersebut, menuntunnya masuk dan mengembangkan diri di dalam organisasi tersebut. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, anggota organisasi tidak atau kurang merasakan ada manfaatnya masuk menjadi anggota organisasi tersebut, maka tinggal menunggu waktu organisasi tersebut akan ditinggalkan (withdrawal behavior). Ditinggalkan, tidak hanya berarti tersurat, namun jika organisasi terlihat “melempem” tidak mampu menghadirkan aktifitas organisasi yang bermakna, tidak mampu menggali dan menemukan momentum yang berharga bagi komunitas profesi, serta selalu ketinggalan dalam aksinya, maka itu ciri organisasi yang tidak mempesona dan kehilangan ruh wajar saja ditinggalkan oleh anggotanya, meskipun pada kenyataannya tidak ada satu orang anggota pun yang nyata mengundurkan diri secara tertulis.
 Tentunya keberadaan guru sebagai profesi wajib mempunyai pula organisasi profesi. Hal ini juga ditegaskan dalam UU Guru dan Dosen. Seperti organisasi profesi lainnya, organisasi guru juga tentu bertujuan meningkatkan harkat, martabat, kesejahteraan, dan nilai dari guru sebagai anggotanya. Bagaimana guru menjadi profesi yang disegani dan tak mudah menjadi “objek eksploitasi” baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Organisasi guru harus mampu menjadi tempat mengadu dan meminta perlidungan jika merasa kegiatan profesinya terkendala.
Organisasi guru juga harus mengembangkan kualitas diri dan wawasan guru dengan cara-cara yang professional. Organisasi guru harus menghindari pemanfaatan organisasi untuk hal-hal yang berhubungan dengan politik dan “nilai-nilai pendekatan” yang tidak professional. Banyaknya tanggungjawab dan “pekerjaan” organisasi guru tentu mengharapkan para pengurusnya tidak sekedar “tampang nama dan Jabatan” saja, tapi harus punya kepekaan dalam menyadari tuntunan anggotanya. Banyaknya permasalahan yang dihadapi guru saat ini, baik langsung maupun tidak langsung membuktikan pada organisasi guru bahwa tak ada waktu untuk vakum atau “tenang-tenang saja”.
Seringnya guru menghadapi kendala dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab profesinya harus menjadi perhatian dari organisasinya. Tak bisa dibiarkan guru tak leluasa (ketakutan) dalam mendidik atau mengajar di dalam kelasnya sendiri. Lebih gawat lagi jika guru telah meninggalkan jiwa profesionalismenya karena merasa tak dihargai. Kasus-kasus guru yang dilaporkan ke pihak berwajib karena persoalan “melanggar UU Perlindungan Anak” harus dan mutlak menjadi agenda advokasi organisasi guru.
Urusan dengan pihak berwajib tentu mengganggu aktifitas profesinya sebagai guru. Organisasi gurulah yang semestinya menjadi tempat “mengadu” dan meminta perlidungan sehingga guru tidak terbebani harus berhadapan dengan pihak berwajib. Apalagi, persoalan yang banyak muncul sangat dimungkinkan untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Tentu akan sangat elegan jika organisasi guru dapat menfasilitasi MOU dengan pihak berwajib (kepolisian) dengan penyelesaian di intern dalam organisasi profesi guru, baik dalam pelaporan masyarakat maupun penyelesaian permasalahan.

Menjual Organisasi Guru
Hari Guru Nasional  yang kemarin kita peringati, harus dijadikan momentum untuk sadar diri oleh organisasi guru, bahwa selama ini mereka telah menyia-nyiakan amanah yang diberikan oleh para guru. Organisasi guru terutama di daerah sering dijadikan oleh oknum yang haus jabatan sebagai “PERAHU” untuk mengapai dan mengamankan jabatan dalam dunia pendidikan, sehingga organisasi guru hanya dijadikan komoditas “jualan” untuk menghambakan diri kepada rezim penguasa. Sehingga yang pemerkosaan terhadap organisasi profesi guru semakin sering terjadi . Jika telah menjadi pengurus atau pimpinan “lagu-lagu perjuangan” punusai. Padahal, sesungguhnya organisasi guru harus dijadikan alat perjuangan untuk meninggikan bargaining dan membantu guru dalam meraih cita-cita pengembangan diri mereka, baik secara profesi guru mapun pribadi guru. Memang baik jika organisasi guru juga mengadakan acara-acara rutinitas seremonial seperti Seminar, Arisan, Maulid dan Halal Bi Halal, namun itu saja tentu bukan sesuatu yang patut dibanggakan.
Mengikuti arisan dan kepemilikan kartu anggota juga baik, tetapi jika hanya itu, tentu tidak menunjukkan kualitas organisasi tersebut. Lebih tragis lagi, jika iuran anggota tetap berjalan sementara apa yang diharapkan terhadap organisasi tersebut tak pernah dirasakan. Semua keluh kesah di atas merupakan teriakan imajiner guru terhadap organisasinya yang kehilangan vitalitas. Sudah saatnya kita duduk bersama dan bergandengan mengubah mindset dalam mengurusi organisasi guru. Dibutuhkan orang-orang visioner untuk mengurusi guru yang semakin hari tantangannya semakin berat. Orang-orang yang peka terhadap “derita” dan kemauan rekan seprofesinya. Organisasi guru tidak membutuhkan mereka yang lebih banyak mengenal orang-orang di luar guru dibanding saudaranya sendiri (guru).
Momentum Hari Guru Nasional tahun ini bukanlah seremonial belaka,  tidak boleh lewat begitu saja tanpa ada komitmen untuk para guru melakukan perubahan terhadap organisasi yang “melempem” tadi. Jika guru masih mencintai organisasinya, maka mereka harus mau turut di dalam usaha memperbaiki organisasi guru. Organisasi guru adalah dari, oleh, dan untuk guru.
Penutup
            Organisasi profesi guru sudah seharusnya berdiri tegak seperti organisasi profesi yang lainnya yang mampu bersuara lantang jika profesi guru di caci dan dihina, mampu sebagai rumah yang asri sebagai wadah guru untuk membangun profesionalisme diri, mampu membangkitkan semangat guru untuk sadar akan marwah dan martabatnya sebagai seorang pendidik yang mencintai profesinya. Serta organisasi profesi guru harus mampu meningkatkan daya tawar seluruh komponen guru (PNS/Honor) didepan pemerintah daerah, sehingga tidak akan adalagi mutasi-mutasi cacat hukum, pemecatan oleh yayasan dan diskriminasi terhadap guru, sebab guru bukanlah masyarakat “kelas” dua. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi kita semua.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

ESENSI SUPERVISI PENDIDIKAN

21 Pacar Ronaldo

PENDIDIKAN DI AMERIKA LATIN DARI KOLONIALISME HINGGA NASIONALISME oleh Tuah Manurung